CORAK PEMIKIRAN FILSAFAT HAMKA DAN HARUN NASUTION




CORAK PEMIKIRAN FILSAFAT
HAMKA DAN HARUN NASUTION

Telah Dipresentasikan
Pada Seminar Kelas Pemikiran Islam Program Magister (S2)
Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang



Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Prof. Dr. H. Awis Karni, M.Ag



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
2016 M/1438 H



PENDAHULUAN
HAMKA dan Harun Nasution merupakan duo sosok yang sangat memiliki daya tarik yang luar biasa. Pemikiran kedua tokoh ini, bukan hanya disanjungi oleh khalayak nusantara, namun juga sangat menjadi perhatian dunia.
Seperti halnya HAMKA, sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Keterlibatan HAMKA di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan menanamkan nilai-nilai filosofi disetiap karyanya. Terutama dalam hal filsafat, buku filsafat hidup dan filsafat ketuhanan yang beliau tulis, merupakan rujukan yang luar biasa untuk mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan.
Hal yang serupa jua di terapkan oleh Harun Nasution, kegigihan Harun dalam membawa perubahan konsep berfikir kaum tradisional membuatnya perlu mencari jalan keluar. Belajar ke berbagai negara baik timur dan barat yang pada akhirnya menghiasi keilmuan penuh dengan pembaharuan, tentunya tidak lagi terkukung dengan sifat taqlid yang mendarah daging pada umat Islam Nusantara. Salah satunya Harun Mengemukakan Filsafat Nusantara yang penuh dengan nilai-nilai sosial dan budaya yang tinggi, namun tidak meninggalkan nuansa Islam yang sempurna.
Makalah yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran bagaimana filsafat HAMKA dan Filsafat Harun Nasution. tidak hanya menginspirasi para pengikut-pengikutnya, namun jua telah memberikn corak keberilmuan Nusantara disaat terkukung oleh Feodalisme dan Kolonialisme. Selamat Membaca...




PEMBAHASAN
Pemikiran Filsafat di Indonesia
(Corak Pemikiran Filsafat HAMKA dan Harun Nasution)
Oleh: Rio Sandra[1]
1.        Pemikiran Filsafat HAMKA
A.       Biografi
            Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian namanya disingkat menjadi HAMKA, dalam keseharian beliau akrab dipanggil dengan Buya HAMKA. HAMKA lahir pada tanggal 17 Februari 1908 M (14 Muharram 1326 H)[2], di Desa Tanah Sirah, di Nagari Sungai Batang, di Tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat. HAMKA diasuh dan dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama.[3]
            Dilihat dari nasab keturunannya, HAMKA merupakan keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amrullah, gelar tuanku Kisai bin Tuanku Abdullah Saleh.  Sedangkan kakeknya ialah Syaikh Muhammad Amrullah yang bergelar Tuaku Abdullah Saleh, yang merupakan salah satu tokoh Tareqat Naqshabandiyah, yang menetap di Sungai Batang, Maninjau.[4]
            HAMKA Sejak kecil di didik ilmu dasar-dasar agama dan pelajaran membaca Alquran dari ayahnya. Di usia enam tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang, sebuah kota dengan gairah pendidikan keagamaan di Nusantara pada waktu itu. HAMKA menempuh pendidikan agama dan umum di Padang Panjang hingga remaja. Selanjutnya, HAMKA melalang buana untuk mencari ilmu dan pengalaman ke tanah Jawa, tepatnya Yogyakarta. Dengan menetap di rumah kakaknya yang menjadi istri A.R. Sutan Mansur. Kakak iparnya inilah salah satu guru yang sangat kuat membentuk kepribadian HAMKA.[5]
            Begitu hausnya HAMKA akan pengetahuan, membuat beliau belajar kebanyak guru. Hal ini pula yang menghiasi pemikiran HAMKA. Adapun guru-guru HAMKA yang disadarinya sangat mempengaruhi pemikirannya setelah ayahnya adalah Abdul Hamid Tuanku Mudo (guru Fiqh di Pesantren Thawalib Padang Panjang), Tuanku Zainuddin Labay el-Yunusy (PendiriPesantren Diniyyah School Padang Panjang) yang tidak hanya membentuk perkembangan intelektualnya, tetapi juga pembentukan watak atau karakter. A.R. Sutan Mansur (Ipar HAMKA), H. Fachroedin (Wakil Ketua P. B. Muhammadiyah), KH. Mas Mansur (guru Filsafat), dan HOS. Tjokroaminoto (guru yang mengenalkan tentang ilmu pengetahuan Barat dalam pemikiran sosilogis). Pendidikan yang beliau mulai dari rumah, sekolah, Diniyah dan surau sangat besar pengaruhnya dalam jiwanya dan membentuknya menjadi sosok seperti yang kita saksikan melalui karya-karyanya. Jikapun jauh merantau menuntut ilmu, jiwa keagamaan yang begitu kental tetap tertanam disanubarinya. Sehingga beliau berhasil menjadi pemikir Islam besar di Nusantara.[6]
            Pendidikan yang beliau tempuh di Jogjakarta sedikit banyaknya teradobsi oleh pemikiran Muhammadiyah, sehingganya beliau melibatkan  dengan gerakan ini. HAMKA mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, takhayyul oleh ajaran-ajaran kebatinan sesat di Padang Panjang dan Sumatera Barat pada umumnya. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
            Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
            HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun.

B.       Karya-karya HAMKA
HAMKA dikenal sebagai ulama, sastrawan, mufassir, filosof, bahkan  politikus, meskipun masyarakat awam lebih mengenalnya dengan sosok ulama. Beliau adalah tokoh pemikiran Islam yang banyak memiliki pemikiran filsafat tentang nilai, hidup, dan pengabdian kepada Tuhan (tasawuf), dan pemikiran-pemikiran lainnya diberbagai lini kehidupan. Pengalaman yang tinggi  dapat kita jumpai melalui karya-karyanya yang dikagumi oleh banyak orang, yang bukan hanya Nusantra, namun dunia mengakui kehebat pemikiran beliau. Dari sekian banyak karangan beliau, Di antara karya-karya yang mengenai filsafat ialah :.[7]
            1.    Revolusi Fikiran
            2.    Falsafah Hidup
            3.    Falsafah Ideologi Islam,
            4.    Lembaga Hikmat,
            5.    Filsafat Ketuhanan,

C.      Latar Belakang Pemikiran Yang Mempengaruhi HAMKA
Buya HAMKA hidup di masa-masa awal tumbuhnya organisasi Muhammadiyah dengan energi positif yang  dipancarkan oleh KH. Ahmad Dahlan yang begitu menggelora ke  seluruh penjuru Nusantara. Kebanyakan ulama Minangkabau dan lebih khusus lagi guru-guru maupun orang-orang berpengaruh dalam jiwa buya HAMKA termasuk pengikut setia pemikiranTokoh Pencetus Muhammadiyah ini. Bahkan bisa dikatakan sosok yang sangat dikagumi Buya HAMKA, A.R. Sutan Mansur, adalah orang kedua setelah K.H. Ahmad Dahlan yang mengobarkan semangat Islam Muhammadiyah di Nusantara.
Karena HAMKA hidup di masa gerakan pembaharuan sedang marak, sehingga hal ini memberi peluang bagi  HAMKA untuk  memiliki peran  dalam pengembangan periode modernis di Indonesia, begitu juga dengan pemikiran pembaharuannya sangat moderat dibandingkan dengan golongan Islamis lainnya. Hal  ini  dipengaruhi beberapa faktor: pertama, orang tua, terutama ayahnya. Kedua, situasi dan kondisi sosial dan masyarakat Minang yang  berpola atas lapisan masyarakat kaum tua, dan masyarakat kaum muda. Ketiga, pengaruh pemikiran pembaharuan yang terdapat dalam dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, baik konta kini melalui pribadi maupun artikel-artikel dan karya yang ditulis berbentuk buku.[8]
Bahkan lebih jauh daripada itu, pembelajaran tentang konsep jiwa dan kehidupan yang secara otodidak dipelajari oleh HAMKA dari berbagai pertualangan kehidupannya, dan juga dari berbagai rujukan timur dan barat yang ditelaahnya, sehingga konsep berfilsafat menurut pandagan Islam turut menghiasi pola pemikirannya. Bahkan pemikirannya tentang filsafat cendrung mengaitkan antara agama dan filsafat, sebagaimana pandangannya. Bahwa agama bukanlah filsafat, tetapi dengan merenungi filsafat, orang akan bertambah iman dalam agama. Dalam agama, seorang yang berbuat kebajikan dijanjikan dengan kepuasan abadi yaitu surga, sedangkan yang berbuat keburukan diancam dengan kesakitan neraka. Tandanya senang dan sakit diakui juga sebagai soal kesudahan hidup yang dihadapi manusia.[9] hal yang serupa dilalui oleh seorang filosof dengan mendapatkan kepuasan yang abadi ketika menemukan sesuatu kebenaran.

D.      Pemikiran Filsafat HAMKA
1.      Filsafat Nilai
a.    Fungsi Akal
           Salah satu nilai filsafat menurut HAMKA adalah pada pembentukan jiwa, kebebasan berfikir sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak hanya memikirkan konsumsi perut hari ini, tetapi juga mampu memikirkan kondisi dan kebutuhan anak manusia seribu tahun yang akan datang. Tentulah ini semua mendorong  kemajuan ilmu pengetahuan dalam perjalanan sejarah panjang anak manusia. Besarnya nilai filsafat di tengah-tengah suatu bangsa  ditentukan oleh kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa tersebut. Sejauh mana pemerintahnya mampu  memberikan jaminan kebebasan, keamanan, dan peningkatan taraf hidup, setinggi itu  pulalah apresiasi anak bangsa terhadap filsafat, dan selanjutnya berefek pada kemajuan cara berfikir dan pencapaian-pencapaian  mereka diberbagai bidang.
           Menurut HAMKA, salah satu nilai akal terletak pada fungsinya sebagai alat penjaga, penyeimbang, dan penguasa diri manusia untuk  melakukan suatu perbuatan (karena diukurnya perbuatan itu baik dan layak dilakukan) atau meninggalkannya (karena menurut akalnya perbuatan itu tidak manusiawi dilakukan). Jadi, meskipun suatu perbuatan itu diinginkan oleh nafsu manusia atau dengan kata lain lezat untuk badannya, tetapi ketika hal itu tidak mendapat per- setujuan dari akalnya, maka orang tersebut tidak akan mau melakukan perbuatan atau panggilan nafsu tersebut.[10]
Akal seharusnya mampu menghindarkan orang dari perbuatan mengambil barang, milik atau harta yang bukan haknya, seseorang juga tidak akan mendekati lawan jenisnya jika  akalnya benar-benar terbimbing dan menguasai dirinya, karena menurut pertimbangan akal, pasti perbuatan tersebut akan menurunkan martabat dan harga dirinya. Demikian menurut HAMKA.[11]
Pandangan HAMKA terhadap nilai dalam filsafat pragmatisme bahwa kebenaran ada dua: idealis dan praktis, kebenaran praktis itulah yang kemudian disebutkan sebagai pragmatisme. Ajaran Islam dapat ditelusuri mengandung kebenaran (kegunaan) idealis maupun praktis. Akantetapi, praktis yang dimaksud tentulah  tidak yang mutlak atau kebablasan, melainkan praktis yang harus tetap dalam koridor syariat. Menurut HAMKA, jangan dikira bahwa orang yang berilmu atau kaya ilmu secara otomatis menjadi kaya harta, karena ilmu tidak berhubungan langsung dengan kekayaan.  Hal yang sama juga sama dengan shalat, bahwa orang yang rajin shalat atau kaya ibadah tidak secara otomatis menjadi kaya harta. Jadi, nilai ilmu tidak selalu berbanding lurus dengan banyak-nya jumlah harta. Prinsip nilai bagi HAMKA ditentukan oleh  koridor agama, di  mana koridor agama sangat selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang  universal.[12]

b.   Hikmah Akal dan Hawa
HAMKA dalam Falsafah Hidup mendiskripsikan kekuatan akal dan hawa, bagi HAMKA akal dan hawa merupakan dua kekuatan yang bertempur di dalam diri manusia. Akal selal menimbang antara baik dan buruk lalu memilih mana yang baik. Sedangkan hawa dan nafsu[13] yang jahatlah dipilihnya.
Akal selalu mengingat dan menahan, sedangkan hawa selalu ingin lepas. Akal membatasi kemerdekaan, sedangkan hawa ingin merdeka di dalam segala perkara. Hawa dan nafsu lebih suka terhadap perkara yang mulanya enak walaupun akibatnya kecelakaan. Akal memikirkan kesukaannya dan kesukaan orang lain, adanya timbang rasa, sedangkan hawa nafsu hanya memikirkan yang enak untuk dia saja.[14]
Allah Swt memperingatkan, kalau hanya hawa yang diperturutkan, alamat dunia akan celaka. Sebagaimana firman dalam surat al-Mukminun ayat 71.
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya,.................”(QS. Al-Mukminun, 23:71).
          Sehingganya akal diperuntukan untuk membentengi hawa nafsu dari segala hal yang merusak bada diri manusia. Dengan adanya fungsi akal inilah, manusia terarah di dalam kehidupannya.[15]

2.      Filsafat Ketuhanan
a.    Tuhan Mesti Berbeda dari Alam
Pandangan HAMKA dalam Filsafat Ketuhanannya, bahwa perbedaan zat ketuhanan itu dengan zat yang baru ini, yakni alam, sudahlah nyata sekali. Pikiran dapat cepat menetapkan perbedaan diantara yang menjadikan dengan yang di jadikan. Tidak ada persamaan Khalik dengan makhluk-Nya, baik pada zat, sifat maupun perbuatan.
Tuhan telah menunjukan sifat-sifat di dalam firman yang disampaikan-Nya kepada Nabi-Nya. Sepintas lalu seakan-akan serupa sifat itu dengan sifat makhluk-Nya; misalnya melihat, mendengar, berkata, hidup dan lain-lain. Tetapi bila di jalankan pikiran selangkah lagi, akan kenyataanlah bahwasanya sifat itu mesti berbeda keadaannya. Persamaan adalah mustahil. Bagaimakah akan sama sifat yang di punyai oleh Zat yang Maha Besar dengan sifat yang di punyai oleh zat yang terjadi hanyalah karena izin dari Yang Maha Besar itu.[16]
Kadang-kadang kita hendak tahu bagaimana perbedaan sifat itu, padahal terlalu banyak hijab atau dinding yang membatasi kita di dalam jalan hendak menyelidiki dan mengupas hakikat itu. Jangankan mengetahui perbedaan sifat Dia (Allah Swt) dengan sifat alam, sedangkan alam itu sendiri belum lengkap kita ketahui, dan yang kita dapat hanyalah sejemput kecil saja. Jangankan hakikat alam itu yang akan kita ketahui, sedangkan hakikat diri kita sendiri pun adalah satu perkara yang besar.
Maka kalau di katakan Tuhan bersifat Mendengar, bukanlah artinya pendengaran itu sama dengan pendengaran kita yang memakai telinga macam ini. kalau Dia Berkata, Dia Melihat, bukanlah artinya alat pelihatnya adalah mata sebagai mata kita yang di berikan-Nya ini. Dia membina langit, Dia menghamparkan bumi, Dia duduk di Arsy dan lain-lain sebagainya, semuanya itu tidaklah serupa yang kita pikirkan atau terdapat dalam kebiasaan kita. Dia berkata bahwa Dia bertangan yang terletak diatas tangan kita, bukanlah artinya Dia beranggota tubuh sebagai anggota tubuh kita ini. Alhasil, sifat daripada alam yang dijadikan oleh Tuhan tidaklah serupa dengan sifat Tuhan. Sebab Tuhan bukanlah alam, dan alam bukan Tuhan.
Bertengkar-tengkar dan kadang-kadang mengambil tempo berlama-lama sampai berpisah kepada beberapa firkah dan mahzab diantara ahli-ahli pikir Islam membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan itu, tentang Dia memandang dengan Mata-Nya, Dia bertangan, Dia duduk di Arasy, Dia turun ke langit pertama  di pertiga malam dan lain-lain. Adakah mereka mendapat keputusan? Tidak ada! Keputusan yang dapat mereka keluarkan hanyalah perbedaan belaka. Yang ini berkata begitu dan yang itu berkata begini, namun rahasia itu tetap tertutup, dan selamanya akan tetap tertutup, sebab manusia tidak lah mempunyai cukup alat buat menyelidiki itu. Alat apa? kalau alat itu masih alam juga.

b.   Hakekat Hukum Alam
Dalam hal ini, HAMKA berpandangan bahwa Hukum Alam atau Sunnatullah ialah peraturan yang teguh dan tidak berubah lagi. HAMKA meng-Istilahkan Hukum Alam yaitu hukum yang tua, lebih tua dari segala hukum. Lebih dahulu dari segala agama, bahkan segala hukum yang telah ada dan agama yang telah berdiri, semuanya bersumber dari segala hukum alam. Hikmah tuhan telah menjadikan akal manusia di dalam menentukan buruk dan baik mencari hukum alam itu, bahkan segala kemajuan yang didapat oleh akal dan pikiran, pada tiap-tiap zaman atau tempat, bergantung pada petunjuk hukum alam.[17]
Tiap-tiap suatu yang ada di sungkut langit dan ditanai bumi, semuanya menjalani jalan yang satu. Tidak berubah lagi, sebelum berubah pula asal peraturannya, itulah yang bernama hukum alam. HAMKA meng-istilahkan dengan Matahari yang memberikan cahaya ke daratan bumi, ataupun bekas cahaanya ke atas air laut, sehingga naiklah uap ke udara. Uap itupun  berkumpul menjadi mega yang mendung. Setelah mendung iapun tercurah ke bumi menjadi air hujan, sesudah disaring  ke Udara tadi, tersisihlah antara air dengan garam. Maka pertalian Matahari dengan panasnya, dan panas dengan lautan, lalu subur tumbuh-tumbuhan, dan di bawah tumbuh-tumbuhan yang lebat itu terkumpul pula air hujan yang mengendap ke bumi jadi telaga dan yang mengalir menjadi batang air, mengalir tiada putus-putusnya ke laut. Semuanya itu menjalani hukum alam yang telah tertentu. Sehingga bumi itupun hiduplah sesudah matinya, dan di bumi senantiasa ada pembaharuan.[18]
Sejatinya HAMKA tidak memperkenalkan filsafat baru di Nusantara, kebanyakan filsafat yang HAMKA perkenalkan merupakan filsafat-filsafat terdahulu yang telah diperkenalkan oleh filosof-filosof Muslim pada zaman klasik. Akan tetapi, HAMKA telah memperkenalkan berfilsafat pada masyarakat Nusantara yang saat itu masih terkukung dengan kejumudan. Bahkan jalan filsafat yang HAMKA utarakan telah memberikan peluang bagi generasi Islam sesudahnya dalam berfikir bebas dan tidak terkukung dengan kejumudan yang telah mendarah daging.  Seperti filsafat nilai, filsafat ketuhanan dan filsafat hidup yang HAMKA perkenalkan.

2.        Pemikiran Filsafat Harun Nasution
A.    Biografi
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan  qadhi  (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga  seorang  ulama   yang menguasai   kitab-kitab Jawi   dan   suka rnembaca   kitab kuning berbahasa   Melayu.   sedangkan,   ibunya   seorang  born  Mandailing   Tapanuli,   Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bernukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil   Haram.   Harun   berasal   dari   keturunan   yang   taat   beragama,   keturunan   orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan. Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda,  Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya[19].
Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.[20] Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. di negeri gurun pasir itu dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir bernama Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B.A (serjana muda)[21].

B.     Karya-Karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut[22] :
1)      Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu,   termasuk   di  dalamnya   sejarah,   peradaban,  filsafat,   mistisisme,   teologi,   hukum, lembaga-lembaga dan politik.
2)      Teologi Islam: Aliran-Aliran, sejarah, Analisa, dan Perbandingan  (1977). Mencangkup segala aliran dan golongan dalam Islam.
3)      Filsafat   Agama  (1978).   Buku   ini   menjelaskan   tentang   epistemologi   dan   wahyu, ketuhanan,  argumen-argumen  adanya Tuhan,  roh, serta  kejahatan  dan  kemutlakan Tuhan.
4)      Falsafaf clan Mistisisme dalam Islam  (1978). Buku yang menguraikan pandangan Harun Nasution tentang Filsafat dan Tasawuf.
5)      Pembaharuan   dalam   Islam   :   Sejarah   Pemikiran   dan   Gerakan  (1978). Buku yang membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam.
6)      Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal dan wahyu dalam   Islam,   kedudukan   akal   dalam   Al-Quran   dan   Hadits,   perkembangan   ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam.
7)      Muhammad Abduh dan   Teologi   Rasional   Mu’tazilah  (1987). Buku ini berisi tentang pemikiran teologi Muhammad Abduh
8)      Islam Rasional (1995). Buku yang membahas tentang pemikiran-pemikiran Harun dalam berbagai aspek kajian keislaman.

C.    Corak Pemikiran Filsafat Harun Nasution
Corak pemikiran Harun Nasution dalam berfilsafat nampak dari berbagai karyanya yang memusatkan kosentrasinya terhadap berbagai permasalah umat islam di indonesia yang tidak mampu keluar dari pemahaman tradisional yang dianggap Harun Nasution yang membuat umat Islam kususnya Indonesia terbelakang. Di antara pemikiran filsafat Harun Nasution ialah.
1)        Pandangan Harun Tentang Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 75)
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj, 22 : 46)

“Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk, 67 : 10)[23]
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian :
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S. Al-A’raaf, 7; 179)[24]
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs النفس atau al-ruh الروح) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.[25]

2)        Pentinya Akal
Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang mem­perbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Pening­katan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Umat manusia diketika Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Akal, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepada­nya.
Oleh karena itu, Harun Menilai bahwa dalarn Islamlah “agama dan akal buat per­tama kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang ter­kuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid[26].

3)        Wahyu
Wahyu bersal dari kata al-wahy (الوحى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:
 
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura, 42 : 51)[27]
Menurut Harun Nasution, wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.[28]
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara, 42 : 192-195).[29]
Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selan­jutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.[30]
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir.
Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan. Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual).[31]
Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.
Ÿ“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah, 75:16-19

3.        Kesimpulan
Pada dasarnya, pemikiran HAMKA dan Harun Nasution tentang filsafat telah mewakilkan bagaimana corak berfikir masyarakat Nusantara yang pada waktu itu berada di bawah kungkungan Feodalisme dan Kolonialisme. Kehadiran kedua tokoh ini sangat berdamak pada pola fikir para pengikutnya. Seperti halnya HAMKA, dengan Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Hidup tertuang nilai-nilai yang membawa seseorang ketaraf yang yang lebih tahu akan kebenaran. Filsafat HAMKA ini jua yang mendapat banyak dukungan dari para pengikutnya, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Hidup ini bersesuaian dengan kondisi sosial masyarakat muslim kekinian.
Harun Nasutionpun demikian, dalam pemikirannya yang tertuang berbagai hal yang membuat pembaharuan pemikiran Islam di tanah air. Pengaruhnya di berbagai disiplin ilmu yang berkembang di perguruan tinggi Islam di tanah air membuktikan betapa besarnya pengaruh Harun, sebab Harun berupaya mengharuskan manusia mempergunakan akalnya, untuk berpikir dan melarang kita memakai sikap taklid. Hal inilah turut membawa perkembangan pemikiran Islam Nusantara yang keluar dari kungkungan sifat taqlid yang dibawa oleh golongan tradisonal.



DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003).
Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).
HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup Dr.H.AbdulKarim  Amrullah dan Perjuangan kaum Agama Di Sumatera, Jakarta:Umminda, 1982.
                        . Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Jakarta: BulanBintang, 2002. Cet. XXVI,
                        . (2015).Falsafah Hidup,Jakarta:Republika, 2015,cet.Ke-3
                        . Islam dan Adat Minangkabau,Jakarta:PustakaPanjimas, 1984.
Journal Pangulu Abdul Karim Nasution “Filsafat Nilai dalam Pandangan HAMKA
Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986).
___________. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).
___________. Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu'tazilah. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta.
Panitia Peringatan 70 Tahun Buya HAMKA, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka,(Jakarta: Pustaka Panjimas), 1983,cet.Ke-3


[1] Mahasiswa Program Magister (S.2) Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang 

[2]  Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), cet. Ke-3, h. 482.

[3] HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta:BulanBintang, 1979), h. 9

[4] HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 188-189

[5]HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup Dr.H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama Di Sumatera (Jakarta:Umminda, 1982). h. 2

[6]HAMKA, Falsafah Hidup (Jakarta: Republika, 2015), cet, Ke-3,  h. v-xiii

[7] Diolah dari berbagai sumber

[8] Journal Pangulu Abdul Karim Nasution “Filsafat Nilai dalam Pandangan HAMKA”

[9]HAMKA, op.cit., h. 81

                [10] HAMKA, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: BulanBintang, 2002) Cet. Ke-xxvi, h. 24.

[11]HAMKA, op.cit., h. 81

[12] Journal Pangulu Abdul Karim Nasution “Filsafat Nilai dalam Pandangan HAMKA”

[13] HAMKA lebih cendrung membedakan antara hawa dan nafsu, sebab tiada semua nafsu itu tercela. Ada nafsu yang dinamai  “Nafsu Muthmainah” yaitu nafsu yang tentram, dan ada yang dinamai “Nafsu Lawwamah dan Nafsu Ammaarah” yairu nafsu yang tergolong ke dalam sifat tercela, nafsu inilah yang dipertalikan dengan hawa itu.

[14]HAMKA, op.cit., h. 59-60

[15] Ibid

[16] HAMKA, Filsafat Ketuhanan,(Surabaya : Karunia, 1985),  cet. Ke- 2,

[17]HAMKA, op.cit., h. 73

[18]Ibid,h.74

[19]Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Ciputat. Jakarta. 2001). h. 3

[20]Ensiklopedi Islam, (PT. lchtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 19

[21] Abdul Halim, op.cit., h. 4

[22] Ibid., h. 18-22

[23]Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986). h. 5

[24] Ibid, h. 6-7

[25] Ibid, h. 8

[26] Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987). hlm. 44-46

[27] Ibid, h. 15-16

[28]Syaiful Muzani, op.cit, h. 17.

[29] Harun Nasution. Op.cit., h. 15-16

[30] Ibid.,h.18.


[31] Ibid.,h.20.

Komentar

Postingan Populer