PEMIKIRAN SYAIKH NURUDDIN AR-RANIRI
PEMIKIRAN SYAIKH NURUDDIN AR-RANIRI
Dipresentasikan
Pada Seminar Kelas
Mata Kuliah Sejarah
Sosial-Intelektual Islam di Nusantara
Program
Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang
Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Prof. Dr. H. Awis Karni, M.Ag
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1438 H/2017 M
A. Pendahuluan
Sejarah telah menghidangkan pada kita bahwa Aceh salah satu daerah
yang sangat penting dalam perkembangan Islam di Nusantara. Sebagai pintu
gerbangnya penyebaran Islam di Nusantara, Aceh telah memberikan begitu banyak
sumbangsih terhadap kemajuan sosio-intelektual Islam Nusantara.
Salah satu bentuk sumbangan intelektual yang mengakar di Aceh dan
berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara ialah dengan
munculnya imam-imam sufi dengan pemikiran yang memberikan khazanah besar
terhadap kebangkitan nilai keberagamaan. Salah satunya, munculnya duo sosok
dengan dua faham yang berbeda bahkan sampai pada bertentangan yaitu antara
Hamzah Fansuri sebagai penbawa paham sufistik pantaisme[1]
yang lebih dikenal dengan penyebar paham “Wahdat Al-Wujud”[2]
dan Nuruddin Ar-Raniry yang membawa paham “Wahdat Asy- Suhud”[3].
Kedua faham ini pula yang memberikan khazanah yang besar terhadap
perkembangan Islam di Nusantara, jikapun dalam aplikasinya saling bertentangan.
Hadirnya kedua sosok ini pula yang telah membawa Islam di Nusantara menjadi
unik dikaji dalam berbagai sesi akademik. Dalam hal ini, penulis memaparkan
terkusus tentang Syaikh NuruddinA-Raniri dengan pemikiran-pemikirannya yang
begitu intens dalam menolak paham Hamzah Fansuri dan murid-muridnya. Selamat
membaca...
B.
Biografi Syekh Nuruddin Ar-Raniri
Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Ar-Raniry
yang lebih dikenal dnegan panggilan Nuruddin Ar-Raniri, merupakan sufi
berpengaruh kesultanan Aceh pada pertengahan abad 16. Panggilan Ar-Raniry yang
melekat pada akhir namanya ialah disebabkan beliau lahir di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui.[4]
Awal kedatangan Nuruddin Ar-Raniri ke Aceh menurut dugaan beberapa
ahli tidak
mendapatkan sambutan dari sultan yang berkuasa saat itu (Iskandar Muda w.1636).
Hal ini disebabkan ia membawa ajaran yang menentang paham wujudiyyah.
Padahal paham tersebut justru menjadi keyakinan Sultan dan tersebar di seluruh
kerajaan. Melihat kondisi ini maka Ar-Raniry melanjutkan perjalanannya ke
Pahang dan tinggal disana beberapa tahun. Saat itu, kerajaan Pahang dipimpin
oleh Sultan Ahmad[5].
Kali keduanya ke Aceh, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry pasca naik
tahtanya Iskandar Tsani setelah menikah dengan putri Sultan Iskandar Muda. Di
Aceh Nuruddin Ar-Raniri menetap selama delapan tahun dari tahun 1637 sampai 1644. Keberadaannya di
Aceh yang kedua kalinya ini memperoleh perlindungan sultan, bahkan ia mendapat
tempat di istana sebagai Mufti penganti Syamsuddin Sumatrani.[6]
Pendidikannya
dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian melanjutkan ke Tarim
(Arab Selatan), dari kota ini kemudian ia pergi ke Mekkah pada tahun 1030 H
(1582 M) untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah[7]. Selepas belajar di Makkah dan Madinah, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
melanjutkan perjalanan ke Semenanjung tanah Melayu dan menetap di Pahang.[8]
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dikenal sebagai seorang Syaikh dalam
Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w. 578H/ 1181 M).
Beliau ditunjuk oleh Syaikh Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat Rifa’iyyah,
dan diberikan tanggungjawab menyebarkannya di wilayah Melayu-Indonesia. Kendati
Ar-Raniry dianggap sebagai khalifah tarekat Rifa’iyyah, tarekat ini bukan
bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan dengan beliau. Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry juga mempunyai silsilah dari Tarekat Aydarusiyah dan tarekat Qadiriyyah.[9]
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri menetap di Aceh dan menjadi Mufti hanya
selama delapan tahun, selepas itu beliau kembali ke Ranir dan meninggal di disana
pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H.[10] Kepulangannya
ke Ranir salah satunya disebabkan oleh kekacauan dalam negeri kerajaan Aceh
karena benturan antara pengikut Syaikh
Hamzah Fansuri dengan pengikut Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dan juga munculnya ulama-ulama yang cendrung
menggabungkan kedua faham ini seperti Syaikh Abdul Rauf Singkil. Namun pemikirannya yang intens dan vocal
dalam menetang faham wujudiyah tetap tertanam bagi masyarakat Aceh
melalui karya-karyanya.
C. Karya-Karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
Tampilnya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry sebagai tokoh tasawuf yang terkenal sebagai pelopor
anti paham wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani.
Dengan kegigihan dan kepiawaiannya ia berhasil mengecilkan pengaruh paham Wujudiyyah
yang sedang berkembang saat itu.
Menurut pandangan Azyumardi Azra, Ar-Raniri dalam hal kalam dan tasawuf
dengan fasih mengutip Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Qunyawi, al-Qasyani,
al-Fairuzabadi. al-Jilli, ‘Abd ar-Rahman al-Jami’, Fadhlullah al-Burhanpuri,
dan para ulama terkemuka lainnya. Dalam bidang fikih, merujuk buku-buku Syafi’i
standar seperti Minhaj at-Thalibin, karya an-Nawawi, Fath al Wahhab
bin Syarh Minhaj at-Thullab, karya Zakariyya al-Anshari, Hidayat
al-Muhtaj Syarh al-Mukhtashar karya Ibn Hajar, Kitab al-Anwar karya
al-Ardabili atau Nihayat al Muhtaj (Ila Syarh al-Minhaj, karya
an-Nawawi) karya Syams ad-Din ar-Ramli.[11]
Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara
lain sebagai berikut;[12]
1.
Lathâif
al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab
berbahasa Melayu yang membahas ilmu tasawuf.
2.
Nubdzah
fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang
berisi soal-jawab mengenai kesesatan ajaran Wujudiyyah.
3.
Asrâr
al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia
Manusia dalam Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab
yang membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia
dengan Tuhan.
4.
Hill
azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”),
sebuah kitab berbahasa Melayu yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
5.
Mâ’al-Hayât
li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan
Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan
ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan,
keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
Karya Ar-Raniry
tersebut di atas, sebagian besar berhubungan dengan masalah tasawuf. Di
antaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham panteisme yang
dinilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan pengikut
Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada
mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan tentang
tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme
sesat. At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian
lengkap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab
dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada pengikut panteisme.[13]
D.
Pemikiran Syariah Nuruddin Ar-Ranir
Kehadiran Syaikh Nuruddin Ar-Raniry ke Aceh dapat dikatakan sebagai
babak baru dalam dinamika pemikiran Islam di Nusantara, kapasitasnya sebagai
seorang yang ahli syariat dan seorang sufi menempatkan beliau sebagai tokoh penentang
bagi penganut wujudiyah yang telah melekat dihati masyarakat Aceh sebelum
kedatangannya. Pengalamannya sebagai tokoh keagamaan dapat dilihat kiprah
sebelum kehadirannya di Aceh dan dari karya-karya tulisnya dalam multi disipliner
ilmu.
Kehadiran Nuruddin Ar-Raniry harus diakui telah berhasil mematahkan
pemikiran wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Pemikirannya yang konfrontatif, mengingatkan kita kepada tokoh al-Ghazali yang
begitu concern mengkritik kaum filosof terutama ibn ‘Arabi, dengan kitab
Tahâfut al-Falâsifah-nya. Seperti halnya al-Ghazali, Nuruddin Ar-Raniry
juga ketika dia menyerang penganut wujudiyyah adalah setelah dia
memahami paham aliran itu.[14]
Pemikiran-pemikiran Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, baik yang ditujukan
kepada tokoh dan penganut wujudiyyah, maupun pemikirannya secara umum,
sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang pembahasan di
antaranya sebagai berikut.
1.
Aspek
Teologi dan Sanggahan Terhadap Paham Wahdatul Wujud.
Pada aspek teologi Syaikh Nuruddin
Ar-Raniri sangat vokal dalam menentang faham ketuhanan Syaikh Hamzah Fansuri
yang mana tampak pada hampir pada setiap karangannya.
a.
Tentang
tuhan dalam Pendirian Syaikh Nuruddin Ar-Raniry masalah ketuhanan pada umumnya
bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para
sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan
alam esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriyah dari hakikatnya yang
batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu
pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Jadi, tidak dapat dikatakan
bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Ar-Raniry hampir
sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun,
tafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label pantheisme Ibn’Arabi.[15]
b.
Tentang
Alam dalam pandangan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry berpendapat bahwa alam ini
diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi[16]) al-Farabi karena akan membawa kepada
pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan.
Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allah
dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; nama
Rahman ber-tajalli pada arsy nama Rahim ber-tajalli pada kursy;
nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
c.
Tentang
manusia menurut Syaikh Nuruddin Ar-Raniry merupakan, makhluk Allah yang paling sempurna
di dunia ini. Sebab, merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat
Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya
hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn ‘Arabi.
Sanggahan
Nuruddin Ar-Raniri terhadap doktrin wahdatul wujud Syaikh Hamzah Fansuri
merupakan kritikan tajam terhadap ulama terkemuka Sultan Alauddin Riayat Syah
ini. Sanggahannya tersebut terhadap wujudiyyah Syaikh Hamzah Fansuri
dipaparkan dalam berbagai karangannya dengan mengutip langsung apa yang ditulis
Hamzah dalam kitab-kitabnya, terutama kitab: Al-Muntahi, Syaräbu’l-‘Asyiqin,
Asrärul’l-‘Arifin. Selain itu, ajaran Syaikh Hamzah Fansuri juga disanggah
secara langsung lewat berbagai polemik terbuka.
Adapun
masalah yang terkandung dalam filsafat mistik Syaikh Hamzah yang disanggah oleh
Nuruddin Ar-Raniry dapat disimpulkan sebagai berikut, di antaranya :
1.
Hamzah
mengajarkan ajaran wujudiyyah dalam arti Tuhan berada dalam kandungan
(imanen) alam ini. Artinya, Tuhan adalah hakikat fenomena alam empiris. Menurut
Nuruddin Ar-Raniry, menyatakan emanasi Tuhan sama saja dengan menyamakan
Tuhan dengan alam/makhluk adalah sesat. Karena dalam pandangannya, Tuhan adalah
Transenden yang tidak mungkin dapat ber-maqam dalam diri makhluk,
sehingga Ia sama sekali berbeda dengan makhluk. Ar-Raniry menuduh Hamzah telah
melakukan hal ini, katanya: “Katanya bahwa segala arwah dan segala sesuatu itu
daripada suku-suku Allah dari kerana Ia berbuat dan menjadikan segala sesuatu.
Maka perbuatannya dan yang demikiannya itu jadi daripada-Nya dan kembali pula
kepada-Nya jua. Maka segala makhluqat itu suku-suku daripada Allah.”
Dari pernyataan
di atas jelaslah bahwa dalam pandangan Ar-Raniry, Hamzah berkeyakinan kalau
Allah dan alam pada hakikatnya sama. Hamzah telah menempatkan alam dan Tuhan
memiliki hakikat yang sama dan tidak ada bedanya. Hal ini lebih jelas dengan
perumpamaan Hamzah tentang Tuhan dengan sebiji pohon kayu. Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry mengatakan:
“Maka sekarang kunyatakan pula kepadamu setengah daripada
i’tiqad kaum wujudiyyah yang dibawa angin, yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
as-Sumatrani dan segala yang mengikut keduanya. Kata Hamzah Fansuri dalam
kitabnya yang bernama muntahi pada merencanakan sabda Nabi (man ‘arafa nafsahu
faqad ‘arafa rabbahu) barang siapa mengenal dirinya bahwasanya mengenal
Tuhannya; arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya, nyakni Diri (kuntu
khanzan makhfiyyan) itu dirinya, dan semesta sekalian alam dalam ilmu Allah.
Tamsil seperti biji dan pohon; pohonnya dalam biji itu lengkap serat dalam biji
itu. Maka nyatalah dari perkataan wujudiyyah itu bahwa seru semesta alam
sekaliannya ada lengkap berwujud dalam Haq Ta’ala. Maka keluarlah alam dari
padanya-Nya seperti pohon keluar kayu keluar daripada biji. Maka i’itiqad yang
demikian itu kufur.”
2.
Syaikh
Hamzah Fansuri mengatakan bahwa nyawa itu bukan Khalik dan bukan makhluk.
Syakih Nuruddin Ar-Raniry mengutip perkataan Syaikh Hamzah dalam
kitabnya Asräru’l-‘Arifin sebagai berikut:
“Adapun
barang yang jadi di bawah kun fayakun, syu’un žäti dinamai ahlussuluk, kata ahlussuluk nyawa amr Allah itu belum
datang kebawah ‘kun fayakun’ kata ahlussuluk, titah di atas ‘jadi kau’,
menjadi! apabila di atas ‘jadi kau!’ menjadi khalik pun tiada, makhluk pun
tiada karena itu kata ahlussuluk: Khalik pun tiada, karena ia titah Allah
Subhanahu wa ta’ala.” Syakih Nuruddin Ar-Raniry menolak perkataan Syaikh Hamzah
Fansuri bahwa semua ahlus suluk berpendapat seperti itu, yakni nyawa manusia
itu bukan Khalik dan bukan makhluk. Menurut Nuruddin, semua ulama berpendapat
bahwa nyawa itu makhluk karena dijadikan Allah dengan ciptaan kun. Syakih
Nuruddin Ar-Raniry mengiyakan, dan karena itu nyawa manusia itu baharu.
Sedangkan Syaikh Hamzah Fansuri mengatakan bahwa nyawa itu Amr Allah, bukan
ciptaan dari firman Kun, dan karena itu ia qadim berbeda dengan ciptaan alam
ini.
3.
Syaikh
Hamzah Fansuri mengatakan bahwa Alquran itu makhluk.
Menurut Syakih
Nuruddin Ar-Raniry, Syaikh Hamzah Fansuri keliru menyatakan Alquran sebagai
makhluk sebagaimana kaum Qadariyah dan Mu’tazilah dalam sejarah Islam. Syakih
Nuruddin Ar-Raniry mengatakan[17]
“Dan setengah daripada mereka itu (Qadariyyah, Mu’tazilah)
i’tiqadnya bahwa Alquran itu makhluk. Maka i’tiqad yang demikian itu kufur, seperti
sabda Nabi Saw: “Man qala inna Alquran makhlukun fahuwa kafir”. Demikian lagi
i’tiqad Syaikh Hamzah Fansuri dalam kitab yang berjudul Asrarul ‘arifin,
katanya bahwa Alquran yang dibawa Jibril itu dapat dikatakan makhluk.
4.
Hamzah
mengatakan bahwa nyawa berasal dari Tuhan dan akan kembali bersatu dengan-Nya,
seperti ombak kembali ke laut.
Tentang hal ini Nuruddin Ar-Raniri menulis sebagai berikut:
“Dengar
pula olehmu kata kaum wujudiyyah yang mulhid pada menafsirkan firman Allah: Ya
ayyatuha’l-nafsul mutmainnah irji’i ilä rabiki rädiyatan mardiyyah, yakni
datang nafs mutma’in itu pun daripada allah jua dan kembali nya pun kepadaNya
jua; demi Allah!, jangan lagi syak. Soal betapa arti firman Allah ta’ala itu?
Jawab : adapun artinya itu seperti semisal ombak itu daripada laut jua dan
kembalinya pun kepadanya jua. Artinya karena wujud kita itu wujud Allah, yakni
zat Allah Ta’ala jua demi Allah tiada lain.
Syaikh
Hamzah Fansuri menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam QS Al-Baqarah 2: 156 yang
berbeda dengan pengertian yang dianut dalam kalangan ahlus sunnah. Oleh karena
itu, sanggahan Syekh Nuruddin terhadap masalah ini merupakan lanjutan dari
sanggahannya terhadap wujudiyyah. Bagi Syekh Nuruddin, yang ada hanyalah
Tuhan, sedangkan yang selain-Nya tidak ada. Karena itu mustahil manusia yang
tidak ada akan bersatu dengan Tuhan yang maha ada. Ia menolak tamsil ombak yang
kembali bersatu dengan laut[18]:
“Ombak dengan laut yang ditamsilkan arif itu tiga perkara:
pertama air, kedua laut, ketiga ombak. Maka tiada ada di dalam tiga itu
melainkan esa jua, yaitu air yang mutlak. Dan laut itu nama sesuatu kelakuan
airkan dirinya, maka dinamai akan dia laut, maka nyatalah tiada wujud pada laut
itu hanya nama I’tibari jua demikian lagi ombak itupun nam sesuatu kelakuan air
jua, apabila ia menimbulkan dirinya dengan merendah tinggi sebab ditiup angin,
maka dinamai akan dia ombak. Dan apabila teduhlah ombak, maka tiadalah dinamai
akan dia ombak. Maka nyatalah namanya itu pun I’tibari jua, sekali-kali tiada
baginya wujud. Maka betapa ia kembali kepad air dari karena adalah ia ‘adam.”
Selanjutnya
Syakih Nuruddin Ar-Raniry mengatakan bahwa penafsiran yang dilakukan Syaikh Hamzah
Fansuri terhadap ayat tersebut, di atas dapat menimbulkan pengingkaran adanya
surga dan neraka seperti yang diajarkan dalam agama.
“Maka dimaknakan oleh kaum wujudiyyah yang zindik itu seperti makna
pada ayat “inna li’l-lähi wa innä ilaihi räji’ün’, adalah maksud mereka itu
bahwa alam itu keluar daripada Wujud Allah dan kembali ia jua menjadi bersatu
dengan Dia. Karena pada mereka itu tiada surga dan neraka dan tiada ada pada
mereka itu Tuhan, hanya ia bertuhankan dirinya sendiri.”
Sedangkan
arti yang diberikan oleh para mufassirin terhadap ayat-ayat tersebut,
kata Syekh Nuruddin, adalah bahwa manusia itu milik Allah dan jua segala
amalnya akan kembali kepada-Nya. Jika amalnya baik, ia akan dimasukkan ke dalam
surga, dan jika buruk dimasukkan kedalam neraka.[19]
2.
Aspek
Syariah
a.
Fatwa Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri dalam bidang Bid’ah beragama dalam khitab Tibyan fi Ma’rifat
al-Adyan [20]
Salinan dalam Khitab Shirat
al-Mustaqim, Maka menyalahkan madhhab segala yang
haram itu wajib atas segala Islam. Kata imam Shāfi’ī raḍīallāhanhu segala membaharui
pekerjaan dua bagi; Pertama barang pekerjaan yang bersalahan dengan
Qur‟an atau hadīth atau qawl sahabat atau ijma‟, maka yaitu ḍalālah. Kedua
barang pekerjaan yang baharu kebajikan maka yaitu kebajikan jua. Kata shaykh
Abū Shakūr Sālimī qadasallāh sarrahu dalam kitab Tamhīd bahwa adalah bid‟ah itu lima perkara: Pertama
bid‟ah pada dhāt Allah, kedua bid‟ah kalam dan pada segala sifat
Allah, ketiga bid‟ah pada af‟āl Allah, keempat bid‟ah pada segala
perbuatan hamba Allah, kelima bid‟ah pada segala sahabat Rasūlullāh. Adapun
bid‟ah pada dhāt Allah dan pada kalam Allah dan pada segala sifat Allah dan
pada segala af‟al Allah tiada sebenarnya, maka yaitu kafir sekali-kali
tiada ikhtilaf segala ulama pada mengatakan dia kafir.
Adapun bid‟ah pada segala
perbuatan hamba atau segala aṣhāb Rasūlullāh ḍallallāh „alayhi
wa-sallam, apabila ada ia bersalahan dengan firman Allah yang nyata atau dengan
hadīth yang ittifaq segala ulama akan sahnya atau bersalahan, maka bid‟ah yang
demikian itupun mewajibkan kafir jua sekali-kali tiada bersalahan, dan jika ada
bid‟ah itu bersalahan dengan qiyas atau dengan hadīth yang tiada ittifaq segala
ulama akan sahnya atau hadīth itu ta‟wil sekira-kira hasil syubuhat, maka
bid‟ah yang demikian itu tiada mewajibkan kafir hanya jadi bid‟ah sayyi‟ah jua,
maka wajib padanya taubat.
Shahdān harus berperang dengan segala ahlu bid‟ah apabila zahir pada
mereka itu perkataan yang mengwajibkan kafir, maka harus membunuh mereka itu
jika tiada mereka itu mau taubat, maka jika taubat dan masuk Islam. diterima
taubat mereka itu. Kata setengah ulama bahwa taubat segala bid‟ah itu diterima,
melainkan taubat kaum Ibahīyah dan Ghalibīyah, dan setengah yaitu
daripada kaum Rāfiḍī dan kaum Qarāmiṭah, dan kaum Zanādiqīyah wa
Judīyah dan Falāsifah, maka dibunuh akan sekalian mereka itu,
kemudian daripada taubat dari karena bahwasanya sekalian mereka itu tiada
mengitikad akan yang menjadikan dia, seperti sabda Nabi ṣallá Allāhalayhi
wa-sallam (Man baddala dīnahu faqtulūhu) “Yakni barang siapa mengubahkan agamanya maka hendaklah kamu bunuh
akan dia”.
Adapun madhhab ṭāifah Sufi yang Ahl Allah itu yaitu adalah mereka
mengikuti jalan Rasūlullāh ṣallá Allāh „alayhi wa-sallam, dan mengerjakan
segala fardhu pada waktunya, dan memelihara akan dirinya daripada bernyanyi dan
menari, dan daripada segala perbuatan kaum ḍalālah yang tersebut itu,
dan lagi memelihara akan dirinya daripada makan haram, dan memeniakan segala
halnya daripada segala makhluk, lagi ditanggungnya keberatan segala hamba
Allah, dan keberatan dirinya tiada ditolakkannya kepada orang dan jika dikenal
orang akan mereka itu, maka pilih ia.
Dan adalah mereka itu
mengasihani segala hamba Allah lagi membagikan barang yang dianugerahi ḥaqq Taālá
akan dia dibagikannya kepada segala manusia dan tiada mereka itu berbantah
dengan segala Islam, dan jika dibantah orang akan dia niscaya diamlah ia,
adalah pekerjaan mereka itu memohonkan ampun kepada ḥaqq Ta„ālá akan segala
hamba Allah yang Islam dan tiada pekerjaan mereka itu mengupat-upat akan
samanya Islam, dan tiadalah mereka itu menghendaki perhiasan dan kebesaran
dalam dunia, dan adalah jalan mereka itu seperti jalan segala orang saleh dan
tabi‟in dan sahabat Rasūlullāh ṣallá Allāh alayhi wa-sallam, maka kaum itulah
atas jalan yang sebenarnya Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā’ah.
Maka barang siapa mengasihi
akan itu serasa ia mengasihi Allah Taālá dan akan Rasūlullāh ṣallá Allāh alayhi
wa-sallam, dan kepada kaum itulah isyarat firman Allah Taālá {ulā‟ika
al-ladhīna imtaḥana Allāh qulūbahum li-al-taqwá lahum makhfirah wa-ajrun „aẓīm}
yakni mereka itulah yang dijawab Allah mereka itu karna takut kepadanya adalah
mereka itu ampun dan pahala yang amat besar”.
Hai Ṭālib, ḥaqq Taālá
apabila kau ketahuilah ihwal segala ahli Tasawuf maka seyoknya kau memuliakan,
dan kau hormati serta mengikuti mereka itu dan bersahabat dengan dia. Shahdān,
habāya-habāya pelihara akan dirimu hai Sālik daripada sebelas ṭāifah yang bid’ah
ḍalālah itu, dan jangan engkau bersahabat dengan dia, dan hendaklah kau
helakan, dan kau nyatakan kaum ḍalālah itu supaya masuk engkau kepada sabda
Nabi ṣallá Allāh „alayhi wa-sallam (Man ahāna ṣāhiba bid„ah amanahu Allāh Ta’ālā
yawm al-qiyāmah min al-faz’i al-akbar wa-waqāhu Allāh Ta„ālá) “Yakni
barangsiapa menghina akan ahl bid‟ah, niscaya disentosakan Allah Ta’ālá akan
dia pada hari kiamat dari segala bahaya dan huru hara pada kiamat”.
Dan lagi sabda Nabi ṣallá
Allāh „alayhi wa-sallam (Man waqqara ṣāhiba bid„ah faqad a„āna „alā haḍm
al-Islām) riwayat al-Bayhaqī, “Yakni barang siapa memuliakan ahli bid‟ah
maka ianya ialah menolong meruntuhkan agama Islam”. Dan lagi sabdanya ṣallá
Allāh alayhi wa-sallam (Ahl al-bid„ah sharr al-khalq wa-al-khalīqah) riwayat Abū Nu’aym, “Yakni ahl al-bid„ah
itu sejahat-jahat daripada binatang dan dan sejahat-jahat daripada manusia”.
Dan lagi sabda nabi ṣallá
Allāh „alayhi wa-sallam (mā ḍahara Allāh ahl al-bid„ah illā ḍahara fīhim
hujjatahu alá lisān man yashā‟u min khalfihi) riwayat al-Ḥākim, “Yakni tiada jua zahir bid’ah itu melainkan
adalah dizahirkan Allah atas mereka itu seorang hambanya membangkangkan ḥujjah
dan dalil pada menolongkan bid‟ah itu”. Dan lagi sabda Nabi ṣallá Allāh
„alayhi wa-sallam (man aḥdatha fī amrinā hadhā mā laysa minhu fahuwa raddun,
wa-fī riwāyah, man „amila „amalan laysa „alayhi amrunā fahuwa raddun) “Yakni barang siapa mengadakan pada
agama kami ini barang yang tiada daripada agama maka yaitu tertolak kepada yang
mengada akan dia”.
Dan pada suatu riwayat,
“barang siapa berbuat suatu perbuatan yang tiada pada perbuatan itu agama kami
maka yaitu tertolak yang berbuat dia”. Dan lagi sabda Nabi ṣallá Allāh „alayhi
wa-sallam (Man aḥdatha ḥadīthan fa-„alayhi la„nat Allāh) “Yakni barang
siapa mengadakan suatu Hadīthnya maka atasnya laknat Allah”. Artinya barang
siapa mengadakan suatu agama atau pekerjaan yang lain daripada agama Islam,
maka atasnya laknat Allah. Allāhumma
thabbitnā „alá dīnika kamā tuḥibb, wa-tarḍá wa-wafiqnā mutābi‟ah wa-sharī„ah
nabiyyika al-muṣtafá, wa-aṣirnā fī zumrah min al-ladhīna an„ama Allāh „alayhim
min al-nabīyinā wa-al-ṣiddiqīnā wa-al-shuhadā‟i wa-al-ṣāliḥin, wa-ḥasunā
ulā‟ika rafīqā, dhālika al-faḍlu min Allāh wa-kafá billāh „alīmā. Tuhanku
tetapkan kiranya hati kami agamamu seperti yang Kau kasihi dan Kau gemari dan
Kau anugerahi kiranya akan kami taufīq pada pengikut syariat nabi-Mu
yang pilihan. Dihimpunkan kiranya kami pada tentara segala mereka itu yang Kau
anugerahi nikmat akan mereka itu, yaitu
daripada segala anbiyā‟ dan segala ṣiddīq dan segala shahīd dan
segala ṣāliḥīn, mereka itulah yang sebaik-baik taulan. Demikian itulah
dianugerahi daripada Allah akan kita yang amat mengetahui hal ihwal segala
hambanya.
E.
Penutup
Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry merupakan ulama sufistik yang datang ke Aceh pada abad ke 17 di mana
pada awal kedatangannya pada masa Sultan Iskandar Muda tidak mendapat tempat di
Aceh. Sehingganya ia pergi ke Pahang dan menetap disana, beberapa saat di
Pahang ia kembali ke Aceh setelah Sultan Iskandar Muda mangkat dan pengantinya
Sultan Iskandar Tsani. Hubungan yang erat antara Sultan Iskandar Tsani pada saat
di Pahang membuat ia ditunjuk sebagai Qadhi pada pemerintahan Sultan Iskandar
Tsani.
Pemikiran Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri yang paling berpengaruh ialah ketika menentang paham wujudiyyah
Syaikh Hamzah Fansuri yang sudah menjadi keyakinan bagi masyarakat pada
waktu itu, ada empat poin mengenai spesifikasi dari pemikirannya, yaitu; Tuhan,
alam, manusia dan wujudiyyah. Empat landasan inilah yang dijadikan pijakan Syaikh
Nuruddin Ar-Raniry dalam menentang Syaikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Selama berkarier
di Aceh, banyak pengaruh serta kontribusi Ar-Raniry terhadap perkembangan Aceh,
yaitu; di bidang karya-karyanya yang menjadi rujukan sumber utama para ulama
sesudahnya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Djamris, Edwar
dan Prijanto, Saksono. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan 1995/1996.
Hermansyah, Sutingan Teks Tibyan
fi Ma’rifat al-Adyan.
Ihsan Shadikin,
Sehat. Tasawuf Aceh, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009.
Majid Abdul. Karekteristik
Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniri (e-Journal), 2015.
Muzakkir, Studi
Tasawuf; Sejarah, Perkembangan , Tokoh dan Analisis, Bandung: Cita Pusaka
Media Perintis, 2009.
Samad, Duski. Sufi
Nusantara dan Pemikirannya, Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2000.
Shihab, Alwi. Akar
Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka Iman, 2009.
Solihin, M. Melacak
Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
[1]
Panteisme ialah
suatu posisi yang menganggap alam semesta identik dengan ketuhanan, dengan kata
lain tuhan adalah alam semesta itu sendiri.
[2]
Wahdat
al-wujud (kesatuan wujud) adalah suatu paham tentang keTuhanan, yang di
dalam aliran yang menjelaskan tentang keTuhanan, aliran ini hampir sama dengan
paham Panteisme. Dalam panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam,
sedangkan dalam wahdatul wujud alam bukan Tuhan tetapi bagian dari
Tuhan. Karena itu, dalam paham wahdatul wujud alam dan Tuhan tidak
identik, sedangkan dalam panteisme identik. Bagi penganut panteisme ketika
melihat pohon, dia mengatakan “Itu Tuhan”, sedangkan bagi penganut wujudiyyah
dia berkomentar “Dalam pohon itu ada aspek ketuhanan”. (Baca buku; Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 94.
[3]
Wahdat
Asy-Suhud secara harfiah ialah keesaan penyaksian yang merupaakn suatu faham
dalam tasawuf tentang keesaan tuhan sekaligus keesaan wujud yang tampak dalam
penyaksian hati nurani.
[4] M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal.42
[5]
Sultan Ahmad
yang didaulat raja Pahang meruakan ayah dari Iskandar Tsani yang kemudian menjadi Sultan Aceh
menggantikan Iskandar Muda. Ketika dibawa ke Aceh ia masih berusia tujuh tahun.
Sehingga tatkala Ar-Raniry datang ke Aceh, maka ia sudah dikenal sebelumnya.
[6] Dr. Alwi
Shihab, Ph.D, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman, 2009), hal.
78
[7]
M. Solihin, Op
Cit. hal.42
[8] Dr. Edwar
Djamris dan Drs. Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri,
( Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1995/1996), h. 21
[9] Duski Samad, Sufi
Nusantara dan Pemikirannya, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2000), hal. 32
[10] M. Solihin, Op
Cit, hal.42
[11] Muzakkir,
Studi Tasawuf; Sejarah, Perkembangan , Tokoh dan Analisis, (Bandung:
Cita Pusaka Media Perintis, 2009), hal.147.
[12] Sehat Ihsan
Shadikin, Tasawuf Aceh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009), hal. 103
[13] Muzakkir,
Op Cit., hal. 148
[14] Ibid,
[15] Alwi Shihab, Op
Cit. hal.89
[16] Teori
emanasi yang dikemukakan al-Farabi bahwa dari wujud Tuhan memancarkan
alam semesta. Pemancaran ini terjadi melalui tafakkur (berfikirnya)
Tuhan tentang diri-Nya ini menjadi sebab adanya alam semesta, tafakkur Tuhan
tentang dirinya adalah ilmu tentang diri-Nya dan ilmu itu alah daya (al-qudrah)
yang menciptakan segala sesuatu.
[17] Sehat
Ihsan, Op Cit, hal.110.
[18] Abdul Majid, Karekteristik
Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniri (e-Journal), 2015. Diunduh pada 25 Maret
2017
[19] Ibid.,
[20] Sutingan Teks
Tibyan
fi Ma’rifat al-Adyan oleh Hermansyah,
M.hum
If you're trying hard to burn fat then you need to start using this totally brand new personalized keto diet.
BalasHapusTo create this service, certified nutritionists, fitness trainers, and top chefs joined together to develop keto meal plans that are powerful, suitable, economically-efficient, and satisfying.
From their first launch in January 2019, hundreds of individuals have already transformed their figure and health with the benefits a certified keto diet can provide.
Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones provided by the keto diet.